Psikologi Forensik

Berikut adalah beberapa pertanyaan dalam ujian 24 jam psikologi forensik beserta dengan jawaban yang saya berikan. Jawaban yang saya berikan pada pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan pemahaman, bahan-bahan yang ada, serta buku acuan yang telah saya baca.

  1. Jelaskan mengapa timbul penolakan dari kalangan psikolog terkait pandangan bahwa psikologi membantu dunia hukum melalui psikologi forensik?

Timbulnya penolakan dari kalangan psikolog terkait dengan pandangan bahwa psikologi membantu dunia hukum melalui psikologi forensik adalah dikarenakan adanya perbedaan yang sangat signifikan diantara sudut pandang psikologi dan hukum. Perbedaan tersebut yang kemudian sangat bertolak belakang satu sama lain. Bisa dikatakan bahwa bidang hukum dan psikologi berada pada dua kutub yang berbeda dan sangat sulit dicari jalan tengahnya, kecuali tujuan dari masing-masing pihak yang menginginkan adanya pencapaian keadilan hukum. Psikologi yang bekerja berdasarkan data dalam memecahkan masalahnya, tidak dapat atau malah enggan membantu dunia hukum melalui psikologi forensik karena masih minimnya data serta pengorganisasian data mengenai kejahatan yang telah terjadi. Selain itu, bisa juga dikarenakan badan hukum Indonesia sendiri yang masih menganggap bahwa peran psikologi belum begitu penting bagi masalah forensik, sehingga kerjasama antar kedua belah pihak masih sangat minim.

Selain ketidak tersediaan data yang akurat dan lengkap, hal lain yang juga bisa menjadi pemicu adalah adanya masalah-masalah mengenai kejahatan di Indonesia sendiri yang merupakan sebuah trend dan bukan karena kondisi psikopatologis dari pelakunya, sehingga peran psikolog melalui psikologi forensik dalam hal criminal profiling menjadi tidak penting atau tidak bisa terlaksana. Sebut saja kasus mutilasi yang meningkat seiring mencuatnya kasus mutilasi oleh ryan. Imitation effect atau peniruan tersebut dilakukan oleh orang lain yang ’terinspirasi’ oleh kasus mutilasi yang dilakukan oleh ryan. Bahkan mereka bisa belajar dari pelaku mutilasi terdahulu dalam melakukan penghilangan jejak (Erlangga, 2008, dalam Shiddieqy, 2008). Setelah kasus mutilasi ryan telah ditemukan beberapa kasus mutilasi lainnya dengan kondisi korban dan cara kerja yang serupa (memutilasi menjadi belasan bagian tubuh, kemudian mengubur atau membuang potongan tubuh tersebut), serta dimungkinkan karena adanya motif yang sama, yaitu kasus mutilasi 13 yang ditemukan di kawasan Tugas, Jakarta Timur. Dalam kasus tersebut diindikasikan pula selain motif yang sama yang dilakukan oleh ryan, terdapat pula motif copy cat serta menantang kecerdasan polisi.(Amriel, dalam Shiddieqy, 2008)

  1. Jelaskan perbedaan-perbedaan prinsip, tujuan, cara kerja dan lain sebagainya antara hukum dan psikologi

Sebenarnya antara dunia psikologi dan dunia hukum melmiliki sebuah irisan antara lembaga, subjek, dan metodologi yang digunakan, yaitu bagaimana membantu dunia hukum dalam rangka pencapaian keadilan hukum. Namun, terdapat pula perbedaan-perbedaan mendasar antara dunia psikologi dan dunia hukum. Pertama, Psikologi dan hukum memiliki perbedaan cara pandang mengenai manusia itu sendiri. Para penegak hukum seperti polisi, pengacara, hakim, maupun dosen hukum, terlatih untuk melihat manusia secara berbeda seperti cara pandang psikologi melihat manusia. Kedua, masalah value atau nilai yang dianut oleh kedua bidang tersebut juga menjadi perbedaan. Nilai yang dianut oleh bidang hukum adalah moralitas, nilai sosial, kontrol sosial, efisiensi, dan expediency (sebagaimana sesuatu seharusnya terjadi, atau keadaan yang menguntungkan). Selain itu sering kali disebutkan bahwa bidang hukum bekerja bedasarkan azas yurisprudensi. Sementara itu berbanding terbalik dengan nilai yang dianut oleh bidang psikologi, yaitu pengetahuan dan kebenaran. Sehingga bisa dikatakan bahwa dunia psikologi ’bebas’ nilai karena bekerja berdasarkan kebenaran, data yang ada, serta pengetahuan. Ketiga, bidang hukum dalam pekerjaannya terkait dengan nilai yang dianutnya serta azas yurisprudensi kemudian bekerja untuk mencari keadilan dari sebuah kasus atau keadaan. Sementara bidang psikologi terkait dengan data-data yang ada bekerja mencari kebenaran, terlepas dari adil atau tidak adilnya sebuah permasalahan. Keempat, dalam membuat keputusan, bidang psikologi menunjukkan adanya reliabilitas dan replikabilitas (dari investigasi yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang sama atau serupa) yang mereka dapat dari data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Sementara bidang hukum dalam membuat putusan lebih menggunakan intuisi serta pengalaman-pengalaman terdahulu dalam menangani kasus-kasus serupa atau sejenis. Kelima adalah bahwa bidang hukum bekerja berdasarkan prinsip umu-khusus, dimana mereka bekerja dari prinsip-prinsip umum (UU, hukum yang berlaku, dll) baru kemudian menghasilkan sebuah putusan. Sementara sebaliknya, bidang psikologi bekerja berdasarkan prinsip khusus-umum, dimana mereka bekerja dari data serta kasus-kasus yang ada baru kemudian diambil sebuah kesimpulan atau putusan. Terakhir adalah bahwa dalam bidang hukum mereka menekankan pada advokasi atau pembelaan, sementara bidang psikologi menekankan pada objektifitas. Maksudnya adalah bahwa dalam bidang hukum terdapat advokasi atau pembelaan terhadap tersangka atau terhadap hasil putusan, sehingga dapat menyatakan naik banding atau peninjauan kembali, sementara objektifitas adalah sebuah keadaan yang sudah sebagaimana mustinya, jika bersalah sepatutnya dihukum.

  1. Apa maksud pernyataan bahwa kanak-kanak bukanlah saksi mata yang reliable? Bagaimana meningkatkan reliabilitas tersebut

Salah satu perbedaan individual dalam variabel saksi adalah umur. Karena umur sangat berperan penting sebagai variabel dalam sebuah sistem peradilan, maka dibedakalah saksi mata yang tergolong orang dewasa, anak-anak, manula. Anak-anak seperti halnya dengan orang dewasa merupakan saksi mata dari sebuah kejahatan jika ia berada di tempat kejadian atau setidaknya mengetahui detil dari kejadian, atau bisa juga ia adalah saksi korban. Sama seperti orang dewasa yang menjadi saksi mata, anak-anak juga akan diinterogasi oleh pihak berwajib terkait dengan kejadian kejahatan yang ia alami. Namun, anak-anak sebagai saksi mata memang dianggap tidak reliabel. Hal tersebut dikarenakan adanya isu perkembangan yang terkait dengan teori-teori perkembangan yang ada, seperti misalnya teori perkembangan kognitif, emosional, dan bahasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak-anak sebagai saksi mata tidak reliabel, sebab tahap perkembangan mereka belum mencapai sempurna.

Dari segi kognitif, terkait dengan memori atau daya ingat pada anak. Dimana anak-anak menunjukkan bahwa mereka memiliki kelemahan dalam me-recall kembali ingatan mereka dan meskipun pada akhirnya mereka mampu untuk me-recall, mereka juga menunjukkan rendahnya akurasi dari ingatan mereka terhadap pengenalan wajah. Selain itu, anak-anak juga memiliki kecenderungan untuk memilih atau menebak selama proses identifikasi pelaku, sehingga kemungkinan orang yang tidak bersalah menjadi tersangka menjadi besar. Sementara dari segi emosi, anak-anak yang masih berusia 3-5 tahun memiliki kecendurungan untuk masih bersifat egosentris, yaitu mereka belum bisa melihat keadaan diluar diri mereka sendiri, mereka masih belum sadar dan tanggap terhadap situasi yang dialami. Pemahaman mereka akan kasus juga menjadi pengaruh di sini. Jika mereka tidak mengerti akan kejadian yang mereka alami atau saksikan, karena mereka belum terlalu tanggap, maka mereka juga akan menjadi saksi yang tidak reliable.

Hal lainnya yang memiliki pengaruh adalah tingkat stress yang dialami oleh anak tersebut pasca terjadinya kasus. Dimungkinkan karena adanya repress mengenai kejadian yang dianggap traumatik oleh anak tersebut. Sehigga kesaksian mengenai kejadian tersebut menjadi sulit digali dan dipertanyakan kebenarannya.

Untuk dapat meningkatkan reliabilitas dari kesaksian anak, dapat dilakukan berbagai macam cara. Diantaranya adalah dengan menggunakan alat bantu yang menarik ketika mereka akan ditanyakan atau bersaksi. Alat bantu ini bisa berupa boneka (anatomically detailed dolls, yang biasanya digunakan untuk kasus pelecehan seksual pada anak, dimana mereka diyakini akan bermain dengan boneka tersebut secara inappropriate jika mengalami pelecehan seksual) atau disediakannya mainan-mainan yang dapat mengalihkan perhatian anak dari stres yang dialaminya. Diharapkan mereka akan lebih bisa bercerita dan memberikan kesaksian yang lebih reliabel. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Price dan Goodman (1985, dalam Weiner, 1987) tipe dari memori test juga akan mempengaruhi bagaimana seorang anak akan me-recall kembali ingatannya atau menggunakan cognitive interview sehingga dimungkinkan ingatan yang telah di repress dapat dibangkitkan kembali. Paling penting adalah bahwa menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman agar mereka tidak canggung ketika mereka melakukan kesaksian. Selain itu, perlu dihindari juga pertanyaan yang bersifat leading atau menjurus, karena kemungkinannya mereka malah akan menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan keadaan atau perasaan (tersugesti oleh pertanyaan). Oleh karena itu, terdapat beberapa teknik dalam menanyakan anak-anak sebagai saksi (Wood et al, 1997 dalam Wrightsman, 2001), yaitu:

· suggestive question, dimana dimunculkan pertanyaan baru yang tidak terlalu menjurus atau leading;

· the implication of cinfirmation by other people, dimana anak tersebut diberitahu bahwa ada orang lain yang sebenarnya sudah memberi tahu mengenai kejadian namun pada kenyataannya belum ada orang lain yang melakukan hal tersebut;

· use the positive and negative consequences, dimana akan diberikan serangkaian reinforcement jika anak mau menjawab pertanyaan dan mampu menjawab dengan benar atau menjanjikannya hadiah jika ia mau bersaksi. Misalnya: ” ayo, kamu pasti bisa menolong orang itu. Kamu mau kan menolong orang itu?”

· repetitious questioning, pertanyaan yang sama dilontarkan berulangkali setelah anak menjawab. Hal ini diharapkan akan membawa pada jawaban yang sebenarnya karena lama kelamaan anak akan merasa bosan dengan pertanyaan yang sama secara berulang;

· inviting speculation, teknik ini digunakan jika teknik lainnya gagal dilakukan. Biasanya anak akan ditanyai pertanyaan seputar kejadian dan diberikan pertanyaan spskulatif. Misalnya: ”jika kamu di posisi orang itu, biasaanya apa yang akan kamu lakukan?”

Karena kemungkinan masih ada masalah mengenai perkembangan bahasa, dimana anak belum mengerti percakapan secara formal dan belum mampu bernalar secara abstrak, proses menanyai anak sehubungan dengan kesaksian yang akan dibuatnya adalah menggunakan bahasa yang dimengerti oleh anak tersebut. Orang yang melakukan wawancara dengan anak ini harus mampu berbicara dengan anak-anak dan dengan gaya anak-anak agar mereka merasa nyaman dalam mengungkapkan pikirannya serta diutamakannya membangun raport yang baik dengan anak tersebut sebelum memulai sesi wawancara.

  1. Apa maksud pernyataan bahwa wanita kerap bukan saksi mata yang kredible? Bagaimana meningkatkan kredibilitas tersebut

Selain peran umur, peran gender juga sedikit banyak mempengaruhi kredibilitas dari saksi. Sering muncul pertanyaan, manakah yang lebih baik untuk dijadikan saksi, laki-laki atau perempuan? Menurut sejumlah penelitian yang dilakukan mengenai permasalahan tersebut, ditemukan bahwa laki-laki dan perempuan terkadang menunjukkan perbedaan dalam mengingat dan melihat serta menyadari sesuatu. Hal ini kemudian menyebabkan kejadian yang mereka recall akan berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya saja disebutkan bahwa perempuan lebih baik dalam me-recall item-item spesifik seperti pakaian, gelang, anting, jam tangan bewarna, dan lain sebagainya. Sementara pria, memiliki kecenderungan untuk me-recall lebih baik hal yang berhubungan dengan senjata yang digunakan dalam kejahatan. Wanita juga diindikasikan bahwa lebih melibatkan emosi dibanding dengan pria, dan emosi ini kemudian akan memengaruhi bagaimana kita mengingat serta bagaimana kita me-recall ingatan tersebut. Holmes dalam Milne & Bull (2000) mengatakan bahwa saksi yang dalam keadaan takut, cemas, gelisah, marah, atau sedih akan cenderung menurunkan kredibilitas kesaksiannya, karena dianggap ada sebagian kejadian yang terlupakan serta terlewat. Keadaan lainnya yang dapat memengaruhi kredibilitas kesaksian adalah tingkat stress yang dialami oleh saksi tersebut, dimana sering diimplikasikan bahwa perempuan lebih rentan terhadap stress. Kontak mata yang dilakukan oleh saksi dengan tersangka pada saat kejadian juga menjadi salah satu pengaruh kredibilitas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Stanley L. Brodsky dari Universitas Alabama, terdapat 3 jenis kontak mata (high, medium, low) dan ditemukan bahwa saksi laki-laki memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kontak mata terutama (high eyecontact) dengan tersangka dibandingkan dengan saksi perempuan memiliki kredibilitas kesaksian yang tinggi.

Untuk dapat meningkatkan kredibilitas kesaksian dari saksi wanita dapat dilakukan dengan cara mengkondisikan saksi tersebut dalam keadaan yang tenang dan ditangani oleh interogator perempuan. Dengan demikian saksi tersebut akan lebih nyaman dan leluasa untuk menyampaikan kejadian-kejadian yang dilihatnya terutama kejadian yang mungkin cukup sensitif, yaitu kejadian yang berhubungan dengan pelecehan seksual. Cognitive interview juga bisa dilakukan untuk dapat membangkitkan ingantan dari saksi, dam memperlambat jarak pertanyaan antara satu pertanyaan dan pertanyaan yang lain dengan tujuan saksi bisa lebih mendalam menggali ingatannya tentang kejadian yang terjadi. Selain itu, dapat juga digunakan alat bantu seperti foto-foto tersangka atau TKP yang memungkinkan saksi bisa lebih mengingat wajah serta kejadian yang mungkin sudah ia repress.

Sumber:

Bordsky, Stanley L. (2008). Expert Witness Credibility as a Function of Eye Contact Behavior and Gender: Criminal Justice and Behavior, 35, 1515-1526.

Shiddieqy, Mohammad Ikhsan.(2008). Ketika Pelaku Mutilasi Mencari Inspirasi. Diakses pada tanggal 19 Maret 2009.

Tredoux, Colin G dkk. (2004). Eyewitness Identification: Encyclopedia of Applied Psychology, 875-887.

Weiner, Irving. B dan Allen K. Hess (Ed). (1987).Handbook of Forensic Psychology. New York John Wiley & Sons

Wrightsman, Lawrence S. (2001). Forensic Psychology. Singapore: Wadsworth Thomson Learning

1 Comment (+add yours?)

  1. tasha
    Nov 23, 2011 @ 14:25:07

    sya berminat dgn bidang ini tapi saya masih tidak faham skop psikologi yg sedia ada.saya ingin tahu lebih banyak mengenai bidang psikologi forensik. terima kasih

    Reply

Leave a comment