Lewat Kesederhanaan

Sangat jatuh hati dengan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”

Sebuah puisi mungil yang sangat sederhana, santun berbahasa, namun tepat mengena pada sasaran.

Sebuah puisi mungil yang entah bagaimana caranya, memberikan aku kekuatan untuk melangkah.

Sebuah puisi mungil yang cocok kuberikan untukmu, karena lewat kesederhanaanmu aku belajar tentang cinta.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Dengan kata yang tak sempat diucap.

Kayu kepada api, yang menjadikannya debu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan.

Awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada.

Untukmu dan Untukku

Tuhan selalu punya rencana untukmu dan untukku.
Entah apa rencana-Nya untukku kali ini.
Entah apa rencana-Nya untukmu kali ini.
Kutemukan sosok yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Dia yang selalu ada dan hadir untukku.
Terkadang teringat akan lagu Chrisye yang berjudul “Untukku”.
Rasa-rasanya sangat cocok menggambarkan apa yang sedang aku rasakan dan alami saat ini.
Awalnya kami hanya teman. Namun, seiring berjalannya waktu entah kenapa aku merasakan energi yang berbeda.
Entahlah. Apakah ini hanya terjadi dari dalam diriku saja, dalam arti aku salah membaca pertanda darinya?
Ataukah mungkin, sebenarnya dia juga menaruh suatu harapan kepadaku?

Aku akan selalu berdoa untukmu kawan.
Entah apa yang kau rasakan.
Entah apa yang kau harapkan.
Tapi yang pasti, kau telah memberikan kebahagiaan kepadaku.
Semoga yang kurasakan, dapat pula kau rasakan.
Aku hanya berharap, suatu saat nanti kita dapat bersatu.
Bersatu hati, saling berbagi, dan menyayangi tanpa ada yang menghalangi.
Meskipun suatu saat nanti, aku mengetahui bahwa apa yang kau harapkan berbeda dengan apa yang kuharapkan, aku akan tetap dan selalu bersyukur atas kehadiranmu dalam hidupku.

Lelaki Senja

15 Januari 2011

-Racauan sore hari yang tak tentu arah-

 

Suatu ketika di pusat kota, dimana senja sedang datang ke sana. Sebelum rembulan datang menjemputnya, sebagai pengganti sang senja.

Langkah kaki gadis itu mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Tapi entah apa kesedihan yang sedang ia rasakan. Hanya ia sendiri yang tahu. Tanpa memandang sekitar, sang gadis masuk ke sebuah kafe tua yang terletak di pinggir jalan. Ia memilih meja paling pojok — meja yang terletak paling belakang di ruangan kafe itu — namun masih bisa melihat keadaan luar lewat sebuah jendela kaca. Seorang pelayan menghampiri sang gadis sambil memberikan buku menu kepadanya. Namun buku menu itu ditolaknya, seraya mengatakan kepada sang pelayan,

“Saya sedang menunggu seseorang. Tapi tidak tahu siapa. Apakah Anda dapat membantu saya?”

“Maaf nona, kalau untuk hal itu, saya tidak dapat membantu Anda. Tapi, mungkin saya dapat membawakan minuman untuk Anda?”

“Kalau begitu, saya akan menunggu sambil menikmati secangkir kopi hangat saja.”

Tidak lama kemudian, kopi hangat yang dipesan oleh gadis itu datang. Dalam lamunannya, ia hanya memikirkan orang yang akan ditemuinya. Tapi sampai sekarang, ia sendiri tidak tahu siapa dan kapan orang itu akan datang. Sunguh aneh dan ironis memang. Gadis itu tidak melakukan apa-apa, kecuali duduk dan memandang keluar jendela. Memandang cahaya senja yang mulai kemerahan dan nyaris redup. Sesekali ia menyeruput kopi hangat yang tadi dipesannya. Pelayan yang kebingungan dengan tingkah laku gadis itu, berkali-kali menghampiri meja sang gadis, sekedar untuk melihat keadaannya. Tetap tidak ada reaksi yang ditunjukkan oleh sang gadis. Ia tetap memandang keluar jendela, sambil memandang cahaya senja dan menunggu orang yang tidak tahu siapa itu.

Senja semakin larut dan nyaris punah, ketika tiba-tiba ada sosok laki-laki yang melintas di depan kafe tua itu. Perawakannya sederhana. Tidak terlalu tinggi tidak pula terlalu pendek. Berkemeja dan bercelana panjang, dipadukan dengan sepatu pantofel. Sambil membawa tas berukuran sedang yang diselempangkan ke arang punggungnya. Laki-laki itu datang bersama dengan senja yang hampir sirna. Melintas dihadapan sang gadis yang sedang termenung memandang keluar jendela. Namun sayangnya, sang gadis tidak dapat melihat dengan jelas wajah laki-laki itu. Temaram senja yang hampir sirna membuat sosok lelaki itu menjadi sebuah siluet saja.

“Pelayan! Siapa laki-laki itu?” teriak sang gadis kepada pelayan yang sedari tadi mondar-mandir di dekatnya.

Sang pelayan langsung menghampiri sambil tergopoh-gopoh “Laki-laki yang mana, nona?”

“Itu! Yang sedang berjalan ke arah ujung jalan.”

“Saya tidak tahu nona. Tapi yang pasti dia selalu berjalan ke arah sana saat senja mulai sirna.”

“Sepertinya, dia adalah orang yang saya tunggu. Tapi siapa dia?”

“Kami biasa menyebutnya Lelaki Senja. Karena dia selalu muncul saat senja dan tidak ada satupun diantara kami yang tahu siapa dia.”, jawab pelayan itu dengan nada menjelaskan.

Lelaki Senja, yang entah bagaimana caranya telah memberikan getaran dilematik kepada sang gadis. Haruskah dikejar karena ternyata dialah orang yang selama ini ditunggu atau jangan-jangan, laki-laki itu hanya menampilkan ilusi belaka sebagai hasil dari terpaan cahaya temaram senja yang sebentar lagi akan dimakan oleh malam. Saat gadis itu hendak beranjak untuk mengejar Lelaki Senja, ada seorang pria paruh baya yang mencibir.

“Untuk apa kau kejar laki-laki itu nak. Kau tidak tahu siapa dia. Bahkan kami tidak pernah melihat wajahnya, karena selalu tertutup cahaya temaram senja.”

“Tapi dari kesederhanaannya itulah aku merasakan sesuatu Pak.”

“Sudahlah, tidak perlu kau kejar. Untuk apa? Toh kau juga tidak akan bisa menemukannya lagi sekarang.”

“Kenapa?”

“Karena sekarang senja sudah dimakan oleh malam. Rembulan telah menjemput senja.”

“Baiklah. Aku akan bersabar menunggunya disini. Karena rembulan akan selalu digantikan oleh matahari.”

“Dasar bodoh! Apa hubungannya?”

“Ya, seperti hari ini. Rembulan akan berebut tempat dengan matahari. Disitulah Lelaki Senja akan muncul.”

Kembali gadis itu menempati tempat duduknya, di meja paling pojok. Sambil berharap bahwa esok  matahari akan muncul. Jika tidak, tidak akan ada Lelaki Senja. Tidak akan ada cerita.

Diam…

Ada satu waktu, dimana aku memilih untuk diam.

Diam sejenak, untuk meresap semua rasa yang ada.

Layaknya menikmati secangkir kopi di sore hari.

Begitu harum, hangat, dan kental.

Begitu sederhana namun mengena.

Semua Indah Pada Waktu-Nya (Part I)

Tahun 2011 ini dapat dikatakan merupakan tahun yang penuh dengan suka dan duka. Rasanya seperti naik Roller Coaster. Tapi bukan sembarang roller coaster. Roller Coaster yang aku naiki sangat ekstrim dan tidak biasa (Halilintar di Dufan kalah pastinya). Seberapapun ekstrimnya tahun 2011, yang paling penting adalah aku mendapatkan pelajaran berharga dari Tuhan. Aku diajarkan Tuhan bahwa semua pasti akan indah pada waktu-Nya.
* * *
Banyak hal yang terjadi dalam hidupku di tahun kelinci ini. Pada awal tahun, tepatnya pada tanggal 3 Januari 2011, aku memulai hidupku sebagai orang kantoran. Berkantor di kawasan Sudirman sebagai seorang karyawan HRD. Bisa dikatakan aku mendapatkan pekerjaan ini dengan sangat mudah, sehingga terkadang aku merasa tidak ada perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan ini. Tapi, ya sudahlah. Aku mencoba menjalani hidup baruku itu dengan keyakinan bahwa aku tidak akan mengecewakan orang yang telah mempekerjakanku disini. Banyak hal baru yang harus aku pelajari disini karena sebelumnya aku tidak pernah terjun di dunia personalia kantoran. Jujur saja, sebagai orang yang sangat menyukai tantangan serta hal baru, aku sangat senang dengan keadaan ini. Sampai-sampai aku lupa jam kantor, saking asiknya belajar hal baru. Cukup betah dan kerasan kalau boleh dibilang. Butuh sekitar sebulan untuk dapat mengenal dengan baik semua karyawan di kantor itu.
Ketika aku mulai betah dan dapat menjalankan tugasku dengan baik, dimulailah saat-saat menegangkan itu terjadi. Masalah demi masalah datang menghampiri. Sebagai seorang anak bawang yang baru lulus, aku masih dibilang cukup bodoh untuk membaca situasi kantoran. Tapi tetap aku jalani, dengan keyakinan teguh bahwa aku ada di sini karena Tuhan mengijinkan aku untuk mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Awalnya, aku mencoba untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tapi, ketika aku berhasil menyelesaikan satu masalah, muncul masalah baru yang harus aku selesaikan. Tidak ada habisnya masalah di kantor ini, batinku waktu itu. Lebih tidak menyenangkannya lagi, masalah yang ada di kantor itu adalah masalah yang sudah ada bertahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah diselesaikan dengan baik dan akhirnya seperti efek domino. Satu jatuh, maka akan jatuh semua. Bagianku pula untuk membereskan semua hal yang berantakkan itu. Bagaimana tidak kesal dan stres. Ah, pokoknya banyak hal yang tidak dapat aku ungkapkan karena terlalu kesal dengan permasalahan yang ada pada saat itu.
* * *
Menjelang pertengahan tahun, sekitar bulan Juni, aku mendapatkan informasi mengenai penerimaan mahasiswa baru program profesi psikologi di UI. Informasi yang kudapatkan merupakan angin segar bagiku. Bagaimana tidak, ternyata aku yang tercatat sebagai alumni  UI, mendapatkan kesempatan untuk masuk tanpa mengikuti serangkaian tes masuk. Namun, khusus untuk program pendidikan yang akan aku ambil, tetap harus menjalani tes wawancara serta penanganan kasus. Tidak masalah pikirku, yang penting tes lainnya tidak perlu aku ikuti. Sempat merasa ragu untuk mendaftar, karena aku baru mulai bekerja, tidak punya uang untuk biaya kuliah, dan masih banyak pertimbangan lainnya. Tapi keadaan di kantorku jugalah yang akhirnya mendorongku untuk memberanikan diri mendaftar ke program profesi psikologi.  Prinsipku pada waktu itu adalah nothing to loose. Kalau dapat, ya diambil, kalau tidak juga tidak masalah. Tapi siapa yang sangka, ketika aku bisa masuk tanpa harus mengikuti tes, tetap ada beberapa persyaratan yang harus aku penuhi. Salah satunya adalah tes TOEFL yang harus mencapai 550. Pusing kepala lagi aku dibuatnya. Aku tidak jago jika di tes bahasa Inggris, tidak mungkin aku akan mendapatkan hasil yang signifikan seperti itu. Apa daya, tetap saja harus aku jalani. Hasilnya kurang 30 poin dari poin yang telah ditetapkan, tapi aku tetap ngotot memasukkan transkripku ke bagian akademis UI. Tinggal menunggu waktu saja, pikirku. Banyak-banyak berdoa dan berharap pada Tuhan.

Doaku terjawab, setelah aku menerima telepon di pagi hari, tepat pada awal bulan Juli. Aku berhasil diterima masuk UI, tanpa harus mengikuti tes gelombang pertama. Satu tembok sudah kuruntuhkan, tinggal tembok kedua aku pukul dengan godam. Pasti bisa, tidak ada yang tidak mungkin.  Aku langsung menyerahkan formulir ijin kepada atasanku untuk mengikuti tes wawancara dan penanganan kasus pada tanggal 19 Juli. Sempat merasa tegang ketika harus mengikuti tes gelombang kedua. Tapi karena terlalu sibuk dengan masalah-masalah dikantor, pikiranku sempat teralihkan. Tidak terasa waktu berlalu, tanggal 19 Juli akhirnya datang juga. Aku pergi ke Depok untuk mengikuti tes gelombang kedua. Bertemu dengan beberapa teman sewaktu kami di pregram S1, rasanya menyenangkan. Karena bisa berbagi rasa kembali dengan mereka dan tahu kalau calon-calon temanku nantinya adalah mereka-mereka juga yang sudah pernah aku kenal. Tidak perlu repot untuk membangun relasi baru. Ha..Ha..Ha..
* * *
Ketika harus menjalani tes wawancara, dari kejauhan sepertinya aku melihat salah satu sahabatku. Lucy, namanya. Sontak aku panggil namanya dengan keras, karena posisi dia dan aku cukup jauh. Tapi entah kenapa, dia tidak menoleh ke arahku. Sombong sekali pikirku, apa suaraku yang terlalu pelan sehingga tidak terdengar olehnya? Kucoba lagi untuk memanggilnya, tapi tetap saja tidak ada reaksi apapun. Sudahlah, pikirku, tes sudah mau mulai kalaupun mau ketemu nanti setelah tes juga bisa. Setelah selesai menjalankan tes, aku langsung berinisiatif untuk meneleponnya, agar kami dapat bertemu dan melakukan reuni kecil. Tapi siapa sangka, jawaban Lucy ketika aku telepon. Kira-kira seperti inilah percakapan kami pada waktu itu

“Lucy, lo ada dimana? Gue ada di gedung H. Lo wawancara di mana?”
“Hah? Wawancara? Gue lagi di kantor Jane? Lo ada di mana emangnya?”
“Dikantor? Tadi gue liat lo di auditorium dan gue panggil, tapi lo gak nyaut. Serius ada di kantor?”
“Iya, dikantor. Serius. Masa bohong.”
“Tadi yang gue lihat, siapa dong?”
“Hahaha.. Gak tau, mungkin cuma mirip aja.”

Percakapan kami ditutup dengan sebuah pertanyaan bagi diriku. Siapakah orang yang aku lihat tadi. Karena tanpa aku ragukan lagi, perawakannya sangat mirip dengan Lucy, tidak mungkin salah. Bayangan itu terus ada di dalam pikiranku, tidak tahu kenapa selalu saja muncul dan tidak pernah bisa aku lupakan.
* * *
Tanggal 24 Juli adalah tanggal yang aku tunggu-tunggu. Pasalnya, pada tanggal tersebut, aku akan mengetahui apakah diriku diterima kembali di UI atau tidak. Perasaanku tidak tenang dan sangat tegang. Meskipun prinsipku adalah nothing to loose, tetap saja ada bagian dari dalam diriku yang sebenarnya berharap untuk diterima kembali di UI. Sampai tidurpun tidak nyenyak dan terbawa ke dalam mimpi. Dalam mimpi itu, aku sepertinya bangun tepat pada tanggal 24 Juli tengah malam untuk melihat pengumuman masuk UI. Aku membuka website penerimaan mahasiswa baru melalui telepon selular, memasukan akun serta kata sandi, dan menutup mata ketika halaman tersebut sedang dalam proses loading. Aku membuka mata dan tulisan yang terpajang disana adalah: Maaf, Anda belum dapat kami terima masuk UI. Dalam kantuk yang amat sangat, aku keluar dari halaman tersebut dan menaruh kembali telepon seleluarku. Batinku pada saat itu: tuh, kan bener gak diterima. Ya udah, berarti masih harus bertemu dengan orang kantor untuk waktu yang cukup lama. Kembali aku terlelap dan tidak memimpikan apapun sampai keesokan paginya aku dibangunkan oleh suara Ibuku. Ketika bangun, pengalaman kemarin malam ketika melihat pengumuman itu terasa sangat nyata tapi sekaligus aneh. Kenapa? Aku yang masih penasaran dengan hasil tes masuk UI, mencoba kembali untuk membuka website penerimaan mahasiswa baru. Tapi kali ini, yang aku lihat bukanlah apa yang aku lihat kemarin malam. Tulisan yang tertera pada halaman itu kira-kira adalah permintaan maaf karena belum bisa menunjukkan hasil penerimaan mahasiswa baru dan hasil baru dapat dilihat pukul 9.oo pagi. Hah? Apa lagi ini? Mimpi ya? Kalau mimpi, tapi kok terasa sangat nyata juga ketika aku membuka website ini kemarin malam. Ha..Ha..Ha.. Kuputuskan untuk tidak ambil pusing dengan urusan itu, aku langsung mandi dan pergi ke gereja, serta membatin kembali bahwa aku masih punya kesempatan untuk masuk UI.
Tepat jam 9.00, aku kembali membuka halaman tersebut karena masih penasaran dengan hasilnya. Penasaran, cemas, takut, pokoknya semua perasaan itu campur aduk, tidak bisa dijelaskan. Aku memalingkan wajahku, untuk menghindari melihat langsung ke halaman website tersebut. Baru beberapa menit aku mengalihkan lagi wajahku ke layar untuk benar-benar melihat hasilnya. SELAMAT! Anda….. Tidak aku lanjutkan membaca kata-kata berikutnya yang tertera. Aku hanya membaca kata selamat dan aku tahu artinya aku berhasil masuk. Kakiku lemas dan tidak dapat berdiri. Ah, aku berhasil. Sungguh senang dan tidak ada yang dapat menandingi perasaan senagku pada saat itu. Segera aku memberitahukan atasanku mengenai kabar gembira ini sambil aku mempersiapkan surat pengunduran diriku sesegera mungkin.
* * *
Pekerjaanku masih belum berakhir. Aku diminta untuk mencarikan seseorang yang dapat dipercaya untuk dapat menggantikan posisiku di kantor. Awalnya aku pikir mudah, toh banyak kenalanku yang baru lulus dan mencari pekerjaan. Kusebarkan saja pengumuman ini ke semua teman-temanku. Diluar dugaanku, respon yang aku dapatkan sedikit dan tidak jarang mereka menolak karena alasan ragu, bimbang, dan lain sebagainya. Ah, pekerjaan yang datang kok ditolak pikirku, kapan lagi kalian dapat kesempatan seperti ini? Berkali-kali aku ajukan calon penggantiku, tapi tetap saja ada penolakkan. Baik dari sisi temanku ataupun dari sisi perusahaan tempat aku bekerja. Ternyata cukup pusing memikirkan siapa penggantiku yang kredibel untuk posisi ini. Orang ini haruslah orang kepercayaan yang bisa diandalkan. Aku sempat stres ketika tinggal sebulan aku disana, belum juga mendapatkan pengganti. Belum lagi urusan untuk serah terima jabatan, bagaimana bisa aku melimpahakn semua pekerjaanku pada orang baru hanya dalam waktu kurang dari sebulan. Lalu bagaimana ceritanya nanti, jika memang benar-benar belum ada orang yang cocok untuk menggantikan posisiku, sampai waktuku habis di kantor ini? Ah, tidak bisa dan tidak boleh terjadi!
Tiba-tiba pada suatu pagi di hari Minggu,  pikiranku tertuju pada satu orang, yaitu Lucy. Orang yang waktu itu kusangka ikut masuk tes wawancara bersama dengan diriku. Ya, Lucy adalah orang yang tepat aku rasa. Tanpa ragu dan pikir panjang lagi, aku menghubungi Lucy untuk menawarkan pekerjaanku ini. Responnya sangat baik, karena ketika aku mendesak untuk langsung datang ke kantor keesokan paginya, ia tidak menolaknya. Ha..Ha..Ha.. Ini dia yang aku tunggu, orang yang tepat untuk posisi yang tepat. Proses wawancara Lucy dengan atasanku berjalan dengan baik, dan akhirnya Lucy-lah yang menjadi pengganti diriku di kantor. Bukan main senangnya. Lucy, sahabatku, bisa menggantikanku di posisi ini dan aku sangat mempercayainya untuk melakukan tugas-tugasku nanti. Kami saling berhubugan lewat telepon seusai diriku mengetahui bahwa Lucy berhasil diterima dikantorku. Ia berkata kepadaku, bahwa sebenarnya ia sedang berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya pada saat itu. Sampai akhirnya aku menghubungi dia, dan dia berpikir bahwa itu adalah jawaban dari Tuhan. Sehingga ia juga tanpa ragu mencoba datang ke kantorku untuk melakukan sesi wawancara. Hasilnya, memang ia mendapakan pekerjaan itu.
* * *
Perkataan Lucy, membuat diriku menyadari pengalamanku beberapa bulan sebelumnya. Pengalaman dimana aku bertemu dengan orang yang sangat mirip dengannya. Tiba-tiba aku menyimpulkan bahwa semua itu adalah rencana Tuhan. Sudah dari jauh-jauh hari aku diberi penglihatan, bahwa sepertinya Lucy membutuhkan sesuatu. Tapi aku sendiri tidak tahu apa, dan pada saat itu aku berpikir semua kejadian yang aku alami hanya sebatas kebetulan saja. Kalau saja pada saat itu aku tidak melihat orang yang mirip dengan Lucy, mungkin aku tidak akan menelepon Lucy. Aku tidak menanyakan kabarnya, sedang dimana, dan apa yang sedang ia lakukan. Ketika aku tidak menelepon Lucy, aku juga mungkin tidak akan kepikiran untuk menawarkan pekerjaanku padanya. Sebab sudah cukup lama kami tidak berhubungan, kurang lebih semenjak lulus.
Dari pengalamanku ini, aku semakin disadarkan oleh Tuhan bahwa aku tidak bisa memaksakan kehendak. Aku hanya bisa berharap, menunggu serta berusaha. Semua sudah diatur dan dijadwalkan sendiri oleh Tuhan, bukan olehku. Tuhan pasti akan memberikan apa yang aku inginkan dan aku butuhkan ketika Dia melihat aku siap untuk menerima hal tersebut. Masih banyak harapan dan keinginanku yang belum terkabul dan terkadang aku merasa marah dan kecewa. Tapi sekarang, ketika perasaan itu yang muncul, aku tinggal merefleksikan diriku pada pengalaman ini. Pengalaman yang paling berharga diantara pengalaman lainnya di tahun 2011. Pengalaman yang membuatku merasakan perjumpaan dengan Tuhan dengan cara yang tidak biasa.

Previous Older Entries